top of page
Writer's pictureLink-AR Borneo

SIARAN PERS : Menggerogoti Jantung Kalimantan

Pandemi Covid-19 telah menyebabkan lonjakan yang mengkhawatirkan dalam hilangnya hutan di Indonesia1 dan digunakan untuk mempertahankan salah satu perubahan legislatif terbesar dalam sejarah negara – Undang-Undang Cipta Kerja. Undang-Undang de-regulasi yang menyapu ini memutar kembali perlindungan yang sudah lemah untuk masyarakat adat di Indonesia dan membuat tanah mereka rentan terhadap perampasan.

Ini sangat memprihatinkan mengingat para investor dan Lembaga Keuangan Internasional mendukung mega-proyek di seluruh Kalimantan, yang sekarang memiliki mandat yang lebih besar untuk mencaplok tanah adat atas nama ‘kepentingan umum’ dibawah UU Cipta Kerja.

Perbatasan Kalimantan – menjaga beberapa hutan tropis tertua dan paling beraneka ragam di dunia – satu pusat ekspansi sawit di negara Indonesia dan Malaysia dimana setengah dari semua deforestasi dikaitkan ke tanaman monokultur, mengancam ruang hidup ribuan komunitas adat.

Sejak 2005, sudah ada upaya untuk menggalakkan koridor perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia yang membentang di sepanjang hutan perbatasan Kalimantan. Ini menjadi fokus di laporan utama yang diluncurkan oleh Forest Peoples Programme dan mitra-mitra mereka.

Awalnya disebut Mega Proyek Minyak Sawit, proyek ini digagalkan oleh protes internasional. Ini diikuti dengan pembentukan inisiatif konservasi Heart of Borneo, yang berupaya melindungi 23.4 juta hektar di hutan di Malaysia, Indonesia dan Brunei.

Meskipun terlepas dari kemenangan ini, pada dekade terakhir ini kita menyaksikan meningkatnya konflik lahan dan kriminalisasi masyarakat adat di wilayah perbatasan karena perkebunan sawit masuk ke interior Borneo yang didukung oleh dua proyek mega-infrastruktur, yaitu Jaringan Jalan Trans-Kalimantan – yang mencakup perbaikan dan pembangunan 16 rute jalan sepanjang lebih dari 5.316 kilometer di seluruh pulau – dan Pan-Borneo Highway - 2.333 kilometer jalan-jalan utama di Sabah dan Sarawak di Borneo Malaysia.

Infrastruktur baru ini akan membelah blok-blok hutan Kalimantan yang tersisa dan Heart of Borneo, memberikan akses sepanjang musim ke hutan dan membukanya untuk meningkatkan tingkat kerusakan, eksploitasi dan perampasan oleh para investor. Tanah adat khususnya sangat terdampak.

Saat ini di Indonesia, 1% penduduk menguasai 59% sumber daya agraria dan tanah. Tidak sampai satu persen dari masyarakat adat di Indonesia yang telah menerima sertifikat milik resmi bahkan atas sebagian kecil tanah adat mereka. Hal ini telah memicu badai yang sempurna: kombinasi mega-infrastruktur, investasi swasta dan de-regulasi yang mengancam hutan tropis Kalimantan yang tersisa dan juga jutaan masyarakat adat yang bergantung pada hutan tersebut untuk kelangsungan hidup mereka.

Tapi siapa yang membiayai kehancuran ini?

Dua Lembaga Keuangan Internasional mengincar perbatasan Borneo.

Asian Development Bank menggalakkan konsep Kawasan Ekonomi Perbatasan Khusus untuk "investasi asing yang terkonsentrasi di perusahaan-perusahaan besar yang memiliki kepentingan pribadi dalam menguras bahan mentah atau mengambil keuntungan dari faktor produksi berbiaya rendah". Pesaingnya, Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), adalah satu kendaraan untuk Prakarsa Sabuk dan Jalan Tiongkok. AIIB telah mulai mendanai infrastruktur di Kalimantan.

Pada bulan April 2020, AIIB mengumumkan bahwa “wabah [COVID-19] menunjukkan pentingnya pembangunan infrastruktur.” Pernyataan ini mengabaikan bukti-bukti ilmiah bahwa perluasan industri pertanian di daerah tropis yang difasilitasi melalui pembangunan jalan bertanggung jawab atas sebagian penyebaran penyakit-penyakit mematikan. 2

Untuk menghindari kerugian yang tidak dapat diperbaiki terhadap hutan tua dan masyarakat adat di Pulau Kalimantan, hak-hak masyarakat adat harus dilindungi dan diamankan sebelum konsesi kelapa sawit atau penebangan di wilayah perbatasan direalisasikan dan infrastruktur terkait dibangun. Masyarakat Dayak dan masyarakat adat lainnya adalah pemilik dan penjaga hutan yang sah – bukan perusahaan ekstraktif yang mengambil keuntungan dari penjarahannya.

Juru Bicara

“Orang Dayak tidak bisa dipisahkan dari hutan. Hidup kami dihabiskan di hutan. Tanpa hutan, jati diri kami hilang. Meskipun kita manusia dapat melahirkan anak, tanah tidak dapat. Jika kita menebangi hutan, harapan apa yang ada untuk anak cucu kita?” Inei Yeq, tokoh spiritual di masyarakat adat Dayak Bahau Busaang di Long Isun.

“Saat ini di seluruh wilayah perbatasan, lebih dari satu juta masyarakat adat Dayak secara langsung bergantung pada hutan untuk mata pencaharian mereka dan terus memainkan peran penting dalam memelihara hutan, melestarikan keanekaragaman hayati yang kaya dan luar biasa melalui praktik konservasi tradisional mereka.” Norman Jiwan, Anggota Badan Pengawas, TuK Indonesia.

“Hutan ini ibu kita. Kalau tidak dijaga bisa marah. Kalau marah banyak bencana. Pemerintah sini yang belum mampu menjaga hutan. Ada roh yang tidak bolehkan kita pakai tanah itu. Jadi kita bikin adat [ijin] di sana. Dalam berladang, kami tak sembarang membuka lahan. Ini kami lakukan sesuai yang dianjurkan leluhur. Jaga hutan artinya menjaga kehidupan.” Apay Janggut, Tuai Rumah, Rumah Betang Sungai Utik.

“Dulu hutan menyediakan segala kebutuhan kami. Sekarang, saat hujan turun, banjir di mana-mana. Hutan kami lenyap. Tidak bisa menyerap air. Kami tidak bisa menanam apapun. Kami kehilangan segalanya akibat kelapa sawit.” kata Lindan, ibu tiga anak dan lima cucu, Semunying Bongkang,

“Sekarang di Indonesia, masih ada 5,5 juta hektar lahan lagi di dalam konsesi yang belum dikembangkan. Jika pembangunan terus berjalan sebelum hak masyarakat atas tanah dijamin, pembangunan tersebut bisa menimbulkan bencana berkepanjangan bagi masyarakat adat. Kita akan menyaksikan perpindahan jutaan orang dan bencana ekologi yang mungkin tidak akan pernah bisa pulih di Indonesia dan dunia” Angus MacInnes, Konsultan, Forest Peoples Programme Kontak Indonesia

  • Norman Jiwan: +62 813 1561 3536



  • Nikodemus Ale: +62 812 5686 5454

UK

  • Angus MacInnes: +44 752 681 9460


3 views0 comments

Recent Posts

See All

JOINT PRESS RELEASE

A coalition of indigenous peoples and civil society organisations file a submission with UN CERD on the recently enacted and highly...

SIARAN PERS BERSAMA

Koalisi masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil menyampaikan laporan kepada Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (Committee on...

Comments


bottom of page