top of page
Writer's pictureLink-AR Borneo

Menagih Tanggung Jawab Lembaga Keuangan dalam Karhutla



[Jakarta, 16 Oktober 2019] Kebakaran hutan dan lahan yang masih terjadi setiap tahun terutama di Sumatra dan Kalimantan, dan konflik lahan dengan masyarakat menandakan banyak hal yang masih harus diperbaiki oleh Pemerintah Indonesia agar penggunaan minyak sawit sebagai sumber bahan bakar untuk biodiesel harus berasal dari sumber yang dikelola secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Peran serta pihak keuangan seperti bank dan lembaga keuangan non-bank dalam memberikan pinjaman kepada perusahaan minyak sawit sebagai penyalur CPO untuk biodiesel yang sudah ditunjuk oleh pemerintah Indonesia ke Pertamina dalam Kepmen ESDM No.2018K/10/MEM/2018 sangat penting dalam memilih perusahaan minyak sawit yang sudah memiliki komitmen berkelanjutan dalam komitmen No Deforestation, No Peat Development and No Exploitation (NDPE).

Total luas lahan yang terbakar sejak Januari s/d Agustus 2019 adalah 328.722 ha, dan sampai saat ini di Sumatera Selatan masih terjadi kebakaran hutan dan lahan di beberapa konsesi perkebunan. Ribuan masyarakat terpaksa menghirup udara beracun sisa pembakaran lahan. BNPB menyebutkan masyarakat yang terserang ISPA sejak Februari s/d September 2019 total 919.516 jiwa.


Bagaimana peran bank dan Lembaga non-bank turut berperan aktif dalam menerapkan keuangan berkelanjutan di Indonesia adalah dengan menerapkan prinsip – prinsip NDPE dalam memberikan pinjaman dana kepada perusahaan minyak kelapa sawit terutama sebagai penyalur biodiesel untuk menciptakan biodiesel yang berkelanjutan di Indonesia. Lembaga keuangan wajib memperhatikan isu lingkungan dan isu sosial ketika memberikan pembiayaan ke perusahaan perkebunan sawit. Lembaga keuangan (bank) yang memberi dana kepada korporasi pembakar hutan dan lahan harus bertanggung jawab atas dana publik (termasuk nasabah yang terpapar asap) yang mereka kelola (tersimpan) dan yang mereka salurkan kepada korporasi tersebut.

Willem Pattinasarany, Koordinator Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF) menyampaikan peran bank dan lembaga non-bank sangat penting dalam memberikan pinjaman kepada perusahaan minyak sawit terutama yang ditunjuk sebagai penyalur Crude Palm Oil (CPO) untuk biodiesel yang didistribusikan ke PT Pertamina dan beberapa perusahaan Public Service Obligation (PSO) dan Non-PSO. Dampak dari proses bisnis dalam industri minyak sawit yang tidak mengindahkan prinsip – prinsip NDPE telah mengakibatkan hasil yang negatif bagi warga negara Indonesia yang berada di wilayah operasi perusahaan minyak sawit. Deforestasi telah menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang hebat seperti yang baru – baru ini terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Bagaimana bank dan Lembaga non-bank ikut berperan aktif dalam menerapkan keuangan berkelanjutan berdasarkan POJK No.51/2017 dan pedoman teknisnya di Indonesia adalah dengan menerapkan prinsip – prinsip NDPE dalam memberikan pinjaman dana kepada perusahaan minyak sawit terutama sebagai penyalur biodiesel untuk menciptakan biodiesel yang berkelanjutan di Indonesia.


Muhamad Kosar dari JPIK menyebutkan Lembaga Jasa Keuangan memiliki peran penting dalam mendukung investasi dan finansial di sektor perkebunan sawit dengan tujuan untuk mengembangkan kinerja dan tata kelola sektor sawit di Indonesia. Komitmen Sustainable Finance dari Bank (Lembaga keuangan) ini masih perlu ditegaskan kembali, baik standar maupun pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu, Bank-bank yang memberikan pinjaman kepada perusahaan-perusahaan yang belum berkomitmen terhadap NDPE hanya akan menciptakan reputasi buruk kepada bank tersebut.


Selanjutnya Bayu Sefdiantoro dari Link-AR Borneo mengatakan, dalam POJK 51/2017, bank-bank harus menerapkan kebijakan berkelanjutan yaitu aspek sosial dan lingkungan, ini harus di patuhi oleh pihak bank- bank pemberi pinjaman ke debitur perusahan perkebunan sawit. Dari hasil pemantauan terhadap bank-bank yang memberikan pinjaman kepada perusahaan perkebunan sawit masih belum menjalankan kebijakan berkelanjutan tersebut, Hal ini berdasarkan temuan yang ada dilapangan bahwa perusahaan masih tidak melakukan praktik berkelanjutan dan juga melanggar NDPE, seperti yang terjadi saat ini seperti kebakaran hutan dan lahan di konsesi perkebunan sawit. Dampak dari hal tersebut terjadi kerugian ekonomi, sosial dan kerusakkan lingkungan. OJK harus dapat memastikan bahwa bank-bank besar yang meminjamkan uangnya untuk perusahan perkebunan sawit menjalankan kebijakan berkelanjutan, Selain itu juga OJK harus membuat regulasi khusus yang menyangkut keberlanjutan ini dengan standar dan indikator yang terukur, sehingga kedepan tidak terulang lagi kebakaran hutan dan lahan tersebut. Perlu diingat bahwa Indonesia penghasil CPO terbesar, dan memiliki kebijakan biofuel dimana ini harus di dukung dengan pemasok biofuel yang bersih dari pelanggaran HAM dan lingkungan. Dari perusahan-perusahaan yang disegel oleh pemerintah dalam hal ini GAKUM KLHK mendapati ada group pemasok CPO ke Pertamina. Kita mau biofuel yang bersih dari praktik-praktik pelanggaran HAM dan lingkungan, sehingga kita bisa mengatakan bahwa produksi biofuel kita bersih dari pelanggaran tersebut.


Ismail dari Padi Indonesia menjelaskan Karhutla merupakan kejahatan luar biasa yang menimbulkan korban jiwa sangat besar, oleh karena itu OJK sebagai lembaga yang memliki otoritas atas penggunaan jasa keuangan yang notabene merupakan dana masyarakat harus serius terhadap komitmen kebijakan NDPE dengan memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan perusahaan perkebunan sawit, terutama perusahaan sawit yang terlibat dalam karhutla dan pelanggaran HAM.


Rahmat, Ketua AGRA menegaskan, kebakaran hutan dan bencana asap telah menyengsarakan jutaan rakyat, khususnya kaum tani, perempuan dan anak-anak. Semua ini berakar dari praktik pertanian terbelakang monopoli tanah dalam sistem setengah feodal oleh korporasi perkebunan sawit untuk produksi komoditas ekspor dan biofuel. Mereka didukung langsung dengan invetasi besar dari lembaga keuangan nasional dan internasional untuk melancarkan produksi, namun menggunakan cara yang murah, yakni membakar hutan dan lahan gambut. Untuk itu, mereka harus turut bertanggung jawab atas tragedi ini. Tidak adil jika hanya terus menyalahkan dan menangkap kaum tani, sedangkan korporasi dan para pemiliknya masih dibiarkan bebas dari jerat hukum yang lebih tegas. Kaum tani adalah korban yang terus dipersalahkan, mereka harusnya segera dibebaskan karena telah dituduh secara serampangan sebagai penyebab utama kebakaran hutan dan bencana asap.


Hadi Jatmiko dari LHI (Lingkar Hijau Indonesia) menyebutkan Karhutla ialah kejahatan luar biasa sehingga mengharuskan penegakan hukum yang luar biasa. Lembaga keuangan perbankan harus terlibat menghentikan kejahatan dengan ikut terlibat memberikan sanksi terhadap perusahaan pelaku kebakaran hutan dan lahan. Terkhusus di Sumsel, kondisi asap makin menebal akibat kebakaran hutan dan lahan beberapa waktu terakhir yang makin meluas. Kondisi ini juga hendaknya menjadi perhatian masyarakat (nasabah) yang telah mempercayai dananya kepada perbankan, dan digunakan perbankan membiayai pendanaan perusahaan (korporasi) pelaku karhutla. Jika perbankan tidak memberikan sanksi maka kami mengajak masyarakat memboikot dana pada bank-bank yang diketahui membiayai pelaku kebakaran hutan dan lahan,"ujar Hadi.

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch menyampaikan bahwa berdasarkan hasil pantauan kami, terdapat sedikitnya 14 perusahaan anggota RSPO yang teridentifikasi wilayah konsesinya terbakar selama periode Januari-Oktober 2019. Bahkan ada perusahaan yang konsesinya mengalami kebakaran hutan dan lahan secara berulang sejak tahun 2015 hingga 2018 lalu. Selain itu kami juga melihat ada korelasi antara konflik agraria dengan kebakaran hutan dan lahan. Lembaga sertifikasi RSPO harus menjamin bahwa anggota-anggota RSPO yang lahannya terbakar mendapatkan tindakan tegas. Selain hal diatas, pemerintah, perusahaan sawit, OJK dan serta lembaga finansial (bank-bank) yang mendukung industri sawit juga harus turut bertanggung jawab” tambah Inda Fatinaware.


Muhammad Busyro Fuad dari Elsam menyatakan, dalam konteks penegakan hukum terhadap kasus kebakaran lahan dan hutan (karhutla) yang terjadi selama ini, Pemerintah melalui KLHK telah mengeluarkan sanksi administratif berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, pencabutan izin, dan pembekuan izin bagi perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam karhutla. Namun kasus karhutla yang kembali terjadi di Kalimantan dan Sumatera, merupakan indikator penting bahwa upaya yang dilakukan Pemerintah tersebut sepertinya tidak mampu mengurangi atau menghentikan pembakaran/kebakaran hutan dan lahan. Akibatnya, masyarakat menjadi korban pertama yang paling dirugikan akibat karhutla. Selain Pemulihan hak-hak korban, harus ada upaya preventif lain yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk menghentikan karhutla, salah satunya melalui sektor Pembiayaan. Lahirnya POJK No. 51/POJK03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, memberikan babak baru bagi sektor keuangan seperti perbankan agar berkontribusi dalam memastikan tercapainya pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, perbankan harus memiliki komitmen tegas untuk tidak memberikan pembiayaan terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam kasus karhutla dan pelanggaran HAM lainnya


Kami mengusulkan:

1. Bank – bank yang beropearsi di Indonesia perlu segera menerapkan keuangan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam POJK No.51/2017 tentang keuangan berkelanjutan dan pedoman teknisnya didalam memberikan kredit investasi di sektor industri kelapa sawit

2. OJK sebagai regulator di sektor jasa keuangan segera membuat standar kebijakan dalam industri sektor kelapa sawit sebagaimana di sebutkan dalam prinsip – prinsip keuangan berkelanjutan

3. Lembaga keuangan harus meninjau ulang dalam memberikan pinjaman investasi kepada perusahaan-perusahaan yang terindikasi melakukan kejahatan lingkungan dan berdampak sosial, sebagai pemasok biofuel

4. Setiap korban kebakaran hutan dan lahan (karhutla) harus mendapatkan pemulihan sebagai bagian dari kewajiban negara melindungi HAM dan tanggung jawab korporasi untuk menghormati HAM yang mencakup permintaan maaf, restitusi, rehabilitasi, kompensasi finansial atau non-finansial dan sanksi hukuman, baik pidana, perdata atau administratif, seperti denda, serta ada jaminan tidak akan terjadi pengulangan peristiwa yang serupa di masa mendatang;

5. OJK harus mulai mendorong lembaga keuangan untuk mengintegrasikan uji tuntas HAM sebagai bagian dari mekanisme perizinan dan pengawasan terhadap setiap entitas bisnis dan mengarahkan lembaga jasa keuangan untuk memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan ketika memberikan pembiayaan kepada perusahaan perkebunan sawit.



Narahubung:

Willem Pattinasarany_IWGFF (0852 8976 9112)

Inda_Sawit Watch (0811 448 677)

Hadi Jatmiko_Lingkar Hijau Indonesia-Sumatera Selatan (0813 1006 8838)

Bayu_Link-AR Borneo (0857 5085 6012)

Ismail_PADI Indonesia (0813 4899 5341)

Muhamad Kosar_JPIK (0813 1872 6321)

Muhammad Busyrol Fuad _ELSAM (0856 5500 4863)

Rahmat_AGRA (0821 1134 1420)


Catatan untuk media:

Tahun 2014 merupakan tahun penting bagi lingkungan hidup ketika empat dari grup perusahaan kelapa sawit terbesar, yaitu Asian Agri, Cargill, Golden-Agri dan Wilmar menyatakan komitmen untuk mendukung Deklarasi New York tentang Hutan di acara Pertemuan Puncak Perubahan Iklim PBB di New York pada bulan September 2014. Wilmar menjadi grup pertama yang mengumumkan kebijakan terpadu Nol Deforestasi, Nol Gambut, Nol Eksploitasi (NDPE) nya pada bulan Desember 2013, yang kemudian disusul grup lain. Kebijakan pembeliannya berlaku untuk semua pabrik dan perkebunan yang dimiliki, dioperasikan atau ditanami modal dan untuk pemasok pihak ketiga. Kebijakan tersebut sedang mendorong transformasi di industri kelapa sawit menuju pelaksanaan yang lebih bertanggung jawab.

Indikator NDPE:

No Deforestation

• Tidak menggunakan lahan yang memiliki nilai konservasi tinggi atau High Conservation Value (HCV)

• Tidak menggunakan lahan yang memiliki stok karbon tinggi atau High Carbon Stock (HCS)

• Tidak membakar lahan

• Memiliki dokumen – dokumen legal terhadap lahan yang dimiliki oleh perusahaan yaitu seperti AMDAL/UKL-UPL/RKL-RPL, sertifkat HGU

No Peat Development

• Tidak membuka lahan pada lahan gambut dengan kedalaman berapa pun

• Melakukan praktik manajemen yang baik untuk lahan yang sudah beroperasi diatas lahan gambut

• Melakukan restorasi gambut

No Exploitation

• Tidak melanggar hak tanah berdasarkan hukum dan ulayat

• Tidak melanggar proses dan prosedur akuisisi tanah

• Tidak melanggar prosedur skema smallholder

• Tidak melanggar hak – hak masyarakat adat

• Tidak melanggar hak – hak pekerja

• Tidak merusak habitat hewan dan tumbuhan terutama yang spesies yang dilindungi dan hampir punah

13 views0 comments

Recent Posts

See All

JOINT PRESS RELEASE

A coalition of indigenous peoples and civil society organisations file a submission with UN CERD on the recently enacted and highly...

Comments


bottom of page