top of page
Writer's pictureLink-AR Borneo

SIARAN PERS - PEMBANGUNAN RENDAH KARBON DI KALIMANTAN BARAT, DAPATKAH TERCAPAI?

Updated: Feb 24, 2020


LINGKARAN ADVOKASI DAN RISET BORNEO


Pada tanggal 29 Januari 2020, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Kalimantan Barat mengeluarkan sebuah dokumen rencana pembangunan yang berjudul “Menuju Pembangunan Rendah Karbon di Kalimantan Barat dalam Kerangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2018-2023”. Dokumen pembangunan ini lebih fokus pada rencana kerja daerah Provinsi Kalimantan Barat dalam mewujudkan pembangunan rendah karbon di Kalimantan Barat. Dengan demikian, dokumen Bappeda Provinsi Kalimantan Barat tersebut merupakan bagian integral dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPMJD) Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2018-2023 terkait dengan sektor lingkungan dan perubahan iklim.


Dokumen rencana pembangunan tersebut patut menjadi perhatian Lingkaran Advokasi dan Riset Borneo (Link-AR Borneo), sebuah lembaga swadaya masyarakat, yang selama ini telah bekerja di beberapa kabupaten di Kalimantan Barat untuk mempromosikan pembangunan rendah karbon dan pembangunan sawit berkelanjutan.


Siaran Pers Link-AR Borneo kali ini hendak menyoroti rencana pembangunan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2018-2023 terkait pembangunan rendah karbon. Pembangunan rendah karbon artinya adalah pembangunan dengan tingkat emisi gas rumah kaca yang rendah. Pembangunan rendah karbon secara teknis mensyaratkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh penggunaan sumber-sumber energi tidak terbarukan ditekan rendah mungkin, serta mengurangi emisi gas rumah kaca terutama CO2 secara drastis. Oleh karenanya, pembangunan rendah karbon punya syarat tertentu yang tidak mudah, yakni negara atau daerah yang hendak menjalankannya harus telah mencapai taraf kemajuan industri yang stabil dan tingkat kesejahteraan rakyat relatif tinggi.


Di dalam perjanjian perubahan iklim Protokol Kyoto, negara-negara itu dikenal sebagai negara-negara golongan Annex 1. Negara-negara Annex 1 Protokol Kyoto didominasi oleh negara-negara Eropa, baik Eropa Barat maupun Eropa Timur. Negara-negara yang masuk negara Annex 1 Protokol Kyoto adalah negara-negara industri yang menjadi negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) pada tahun 1992, plus negara-negara dengan ekonomi transisi termasuk Federasi Rusia, negara-negara Baltik, serta beberapa negara Eropa Timur dan Eropa Tengah.


Protokol Kyoto merupakan dasar bagi negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca gabungan mereka paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008-2012. Komitmen yang mengikat secara hukum ini, menempatkan beban pada negara-negara maju, dengan berdasarkan pada prinsip common but differentiated responsibilities. Dalam prakteknya, banyak negara industri yang tidak berhasil menjalankan ketetapan Protokol Kyoto sebagai negara Annex 1, dengan alasan pertumbuhan ekonomi, yang menyebabkan perubahan iklim semakin gawat.


Negara-negara inilah yang secara internasional oleh Protokol Kyoto diwajibkan untuk membangun dengan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) yang rendah atau pembangunan rendah karbon. Indonesia termasuk negara non-Annex 1, artinya tidak wajib membangun dengan skema rendah karbon atau menurunkan tingkat emisi gas rumah kacanya.


Artinya pembangunan rendah karbon, hanya cocok untuk negeri-negeri industri maju di mana kesejahteraan rakyat sudah cukup tinggi. Pembangunan rendah karbon tidak cocok buat negeri-negeri terbelakang seperti Indonesia, yang masih berkutat dengan persoalan meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Untuk Kalimantan Barat, pembangunan rendah karbon lebih tidak cocok lagi, karena Kalimantan Barat masih masuk dalam kategori provinsi yang tertinggal untuk tingkat Pulau Kalimantan.


Masalah pengurangan emisi gas rumah kaca versus pertumbuhan ekonomi inilah yang pada tingkat global menyebabkan kenapa misalnya Amerika Serikat tidak ikut kesepakatan internasional tentang perubahan iklim seperti Protokol Kyoto, karena harus mengorbankan pertumbuhan ekonominya. Amerika Serikat juga menarik diri dari Paris Agreement, kesepakatan perubahan iklim terbaru yang disepakati di Paris pada bulan Desember 2015.


Selain itu, pembangunan rendah karbon juga mensyaratkan tingkat deforestasi yang rendah. Seperti telah diketahui bersama, tingkat deforestasi yang tinggi telah menyebabkan kawasan hutan Indonesia semakin habis. Pada tahun 2019, menurut dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024, luas tutupan hutan primer hanya tinggal 43 juta hektar. Padahal pada tahun 2000, luas tutupan hutan primer masih sekitar 27,7 persen dari total luas lahan nasional (189,6 juta hektar) atau sekitar 52,51 juta hektar (lihat halaman 18).


Secara teknis, pelepasan gas rumah kaca (terutama CO2) memang banyak dihasilkan dari perubahan tata guna tanah, khususnya pembukaaan hutan primer dan lahan gambut. Semakin banyak hutan dan lahan gambut dibuka untuk perkebunan, pertambangan serta konsesi kayu, maka semakin besar pula pelepasan gas rumah kaca terutama CO2. Pada tingkat Kalimantan Barat, Bappeda Kalimantan Barat memperkirakan emisi gas rumah kaca dari kehutanan dan lahan gambut pada tahun 2020 mencapai 93,82 persenatau 533.589.632 ton CO2-equivalent.


Dengan tingkat emisi gas rumah kaca setinggi ini tentu dibutuhkan upaya yang keras dari Pemerintah Daerah Kalimantan Barat (Pemda Kalbar) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari kehutanan dan lahan gambut. Agenda kerja Pemda Kalbar Tahun 2018-2023 seperti menurunkan luas kerusakan kawasan hutan melalui rehabilitasi hutan dan lahan kritis tentu sangat dihargai. Akan tetapi itu tidak cukup.


Pemda Kalbar harus berani melakukan moratorium sawit yang telah dimandatkan oleh Inpres 8/2018 tentang Moratorium Sawit, termasuk memberikan sanksi keras misalnya mencabut perizinan perkebunan terhadap perusahaan-perusahaan sawit yang menanam sawit di kawasan hutan dan lahan gambut. Data Link-AR Borneo pada tahun 2018 memperlihatkan bahwa Pemerintah Kalimantan Barat telah mengeluarkan izin luas perkebunan sawit mencapai 4,7 juta hektar atau 32 persen luas daratannya telah dibebani izin usaha perkebunan kelapa sawit. Jumlah perizinan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat menurut data Link-AR Borneo sebanyak 454 izin dengan luas total mencapai 4.710.490 hektar.


Jika Pemda Kalbar sungguh-sungguh bermaksud melakukan pembangunan rendah karbon, meskipun Indonesia tidak termasuk negara Annex 1 Protokol Kyoto, maka salah satu langkah penting yang ditunggu oleh masyarakat adalah menjalankan secara penuh mandat Inpres 8/2018 tentang Moratorium Sawit. Yakni dengan cara memberikan sanksi keras berupa pencabutan izin kepada perusahaan-perusahaan sawit yang melanggar aturan hukum yang ada seperti misalnya perusahaan sawit yang menanam sawit di kawasan hutan dan lahan gambut.


Pontianak, 13 Februari 2020


Lingkaran Advokasi dan Riset Borneo (Link-AR Borneo)

Eko Zanuardy

Direktur Eksekutif

Nomor kontak: +62 812-5468-3793


15 views0 comments

Recent Posts

See All

JOINT PRESS RELEASE

A coalition of indigenous peoples and civil society organisations file a submission with UN CERD on the recently enacted and highly...

Comments


bottom of page